Senin, 27 Desember 2010

Menganggap Sama Baik dari Sesuatu yang Buruk

Setiap waktu kau tersenyum. Sudut matamu memancarkan rasa keresahan yang terbenam, kerinduan yang tertahan, duka dalam yang tersembunyi. Jauh di dalam hati kata-katamu riuh mengalir bagai gerimis.

Seperti angin tak pernah diam selalu beranjak setiap saat, menebarkan dan menaburkan aroma luka, bakar ladang gersang. Entah sampai kapan berani menipu diri. Kala itu aku mencermati kalimatnya dibias lampu temaram. Aku merasa itu kalimat yang bagus dan terlihat sopan. Tapi setelah aku berjalan menyusuri beberapa langkah kaki dari tempat asalku berpijak aku terpikir. Tergugah kembali seperti appersepsi yang menarik untuk aku gali. Dimana letak keindahannya? masih saja terngiang-ngiang dan terbanyang. Mengerutkan dahi, sampai ekspresi termanis pun mungkin itu akan muncul seperti dua titik diikuti tanda srip yang disertakan simbol terakhir ketika kau meng-insert tanda "smile" di pesan singkat yang akan kau kirim. Itulah proses mencari jawabanku. Tapi kemudian aku pelajari, karena aku tak mengerti.

Sepertinya ini sesuatu yang unik dan manis. Kemudian diikuti senyum ciut untuk semakin mempermanis. Rasanya sempurna sekali. Benar-benar sesuatu yang jarang bahkan tak pernah aku temukan. Si Melankolis ini masih saja berpikir sampai sejauh itu, sebutan namanya sepertinya seolah tak sepadan. Mana mungkin mampu mengartikan sama baik dari sesuatu yang buruk. Sesuatu yang implisit sepertinya malah menjadi hal yang tak perlu lagi untuk diterka kembali, bahkan untuk dianalisis sepertinya itu sesuatu yang membosankan. Jalan pikiran itu jauh tak sama dengan arah pemikiranku, tak mampu meng-claim sama baik dari sesuatu yang buruk.

Membasuh debu yang lekat dalam jiwa, mencuci bersih dari segala kekotoran. Aku menunggu hujan turunlah, aku mengaharap badai datanglah, gemuruhnya akan melumuhkan semua.

0 comments:

Posting Komentar

Recent Posts

Text