Jumat, 04 Februari 2011

Dari Sundak Menuju Bukit Bintang





Sundak, sebuah pantai di wilayah kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di desa Sidoharjo kecamatan Tepus. Berada di jajaran pantai selatan berderet dengan pantai Kukup, Krakal, Drini, Sepanjang dan Pantai Baron. Pemandangan alam yang sangat indah melengkapi pemandangan-pemandangan alam lainnya yang ada di Indonesia. Kekuasan Tuhan yang tiada pernah tertandingi, tak mampu menandingi keindahan alam buatan manusia. Ya, karena manusia seharusnya tak pernah berhenti bersyukur atas segala apa yang ada di bumi ini. Mensyukuri tanpa merusak itu akan lebih baik, daripada tidak mesyukuri ditambah lagi merusak bahkan tidak ikut menjaga dan melingungi keindahan alam yang begitu murahnya sampai mata kita pun mampu melihatnya.


Lembaran pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai, menanti sapaan hangat yang ramah dari ombak yang berlarian mengharapkan sapaan salam pertama bak rindu yang teramat dalam untuk kami yang selalu mencoba mensyukuri keindahan alam ini. Memberikan kenyamanan mata yang memandang. Semilir angin membelai dedaunan melambai di ujung dahan-dahan yang tumbuh mengitari pantai menyejukkan hati para pencari kedamaian.


Hamparan bibir pantai bak senyum lengkung indahnya, karang-karang mungil tempat bermain biota laut nan menggemaskan. Karang yang berdiri kokoh seolah penjaga Pantai Sundak nan kokoh dan pemberani. Perbukitan kapur di latar belakang pantai yang menjulang menambah keelokan pertemuan laut dan daratan pesisir selatan pulau Jawa.


Sundak, yang bermula dari pertarungan antara antara Asu (dalam bahasa Jawa); Anjing (dalam bahasa Indonesia) dan Landak. Pergelutan yang meninggalkan jejak bagi penduduk sekitar akan adanya sebuah gua dengan sumber air tawar di dalamnya memberikan kesan yang tak terlupakan samapai pada detik ini.


Nama Sundak ternyata mengalami evolusi yang bukti-buktinya bisa dilacak secara geologis. Di bagian pinggir barat pantai terdapat masjid dan ruang kosong yang sekarang dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Sementara di sebelah timur terdapat gua yang terbentuk dari batu karang berketinggian kurang lebih 12 meter. Memasuki gua, akan dijumpai sumur alami tempat penduduk mendapatkan air tawar.


Wilayah yang diuraikan di atas sebelum tahun 1930 masih terendam lautan. Konon, air sampai ke wilayah yang kini dibangun masjid, batu karang yang membentuk gua pun masih terendam air. Seiring proses geologi di pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut. Batu karang dan wilayah di dekat masjid akhirnya menjadi daratan baru yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk aktivitas ekonominya hingga saat ini.


Ada fenomena alam unik akibat aktivitas tersebut yang akhirnya menjadi titik tolak penamaan pantai ini. Jika musim hujan tiba, banyak air dari daratan yang mengalir menuju lautan. Akibatnya, dataran di sebelah timur pantai membelah sehingga membentuk bentukan seperti sungai. Air yang mengalir seperti mbedah (membelah) pasir. Bila kemarau datang, belahan itu menghilang dan seiring dengannya air laut datang membawa pasir. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama pantai menjadi Wedibedah (pasir yang terbelah).


Perubahan nama berlangsung beberapa puluh tahun kemudian. Sekitar tahun 1976, ada sebuah kejadian menarik. Siang hari, seekor anjing sedang berlarian di daerah pantai dan memasuki gua karang bertemu dengan seekor landak laut. Karena lapar, si anjing bermaksud memakan landak laut itu tetapi si landak menghindar. Terjadilah sebuah perkelahian yang akhirnya dimenangkan si anjing dengan berhasil memakan setengah tubuh landak laut dan keluar gua dengan rasa bangga. Perbuatan si anjing diketahui pemiliknya, bernama Arjasangku, yang melihat setengah tubuh landak laut di mulut anjing. Mengecek ke dalam gua, ternyata pemilik menemukan setengah tubuh landak laut yang tersisa. Nah, sejak itu, nama Wedibedah berubah menjadi Sundak.


Tak disangka, perkelahian itu membawa berkah bagi penduduk setempat. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air. Awalnya, si pemilik anjing heran karena anjingnya keluar gua dengan basah kuyup. Hipotesanya, di gua tersebut terdapat air dan anjingnya sempat tercebur ketika mengejar landak. Setelah mencoba menyelidiki dengan beberapa warga, ternyata perkiraan tersebut benar. Jadilah kini, air dalam gua dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk. Dari dalam gua, kini dipasang pipa untuk menghubungkan dengan penduduk. Temuan mata air ini mengobati kekecewaan penduduk karena sumur yang dibangun sebelumnya tergenang air laut.


Jika dikatakan kondisi tahun 1930 saja seperti yang dikatakan di atas, dapat diperkirakan kondisi ratusan tahun sebelumnya. Tentu sangat banyak organisme laut yang memanfaatkan bagian bawah karang yang kini menjadi gua dan wilayah yang kini menjadi daratan. Karenanya, banyak arkeolog percaya bahwa sebagai konsekuensi dari proses geologis yang ada, banyak organisme laut yang tertinggal dan kini tertimbun menjadi fosil. Soal fosil apa yang ditemukan, memang hingga kini belum banyak penelitian yang mengungkapkan.


Selain menawarkan saksi bisu sejarahnya, Sundak yang menawarkan suasana malam yang menyenangkan. Menikmati angin malam dan bulan sambil memesan ikan mentah untuk dibakar beramai-ramai bersama teman seperti halnya saya dan kawan-kawan yang menikmati ikan bakar dan ikan goreng, dengan cah kangkung hijau yang lezat dilengkapi dengan sambal hijau dan sambal kecap manis terasa lengkap ketika penawarnya disajikan dengan percuma yaitu teh manis yang hangat yang kemudian diperhias dengan suasana malam yang semakin gelap dengan cahaya lampu dari sisi pantai yang begitu romantis.


Menyusuri jalan yang berkelok-kelok dengan perasaan takut sesak ramai dipenuhi kendaraan besar. Aku yang tidak terbiasa mengendarai motor dengan jalan yang selama kurang lebih dua jam dengan mengendarai roda dua itu jarang sekali ditemukan jalan datar. Meskipun demikian, sesampainya disana aku sangat senang. Aku kabarkan kepada semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari, kepada angin, kepada pepohonan hijau, dan kepada pasir yang tak ingin dia membiarkanku pergi, serta kepada air laut yang jernih membasuh menyejukkan tubuh yang penuh dengan kepenatan.


Sungguh hari ini merasa senang dan segar kembali. Sahabat yang meemaniku rasanya mereka sangat mengerti apa yang sedang aku rasakan. Aku pun merasa bersyukur sampai saat ini Tuhan memberiku kesempatan dengan pendengaranku, penglihatanku dan kemampuanku untuk menjumpai pantai ini.


Perjalanan berlanjut dan berhenti sejenak di “Bukit Bintang” di pertengahan lamanya perjalan yang aku tempauh dari pertama hingga aku bisa merebahkan badanku di rumah keduaku ini. Antara pukul 20.40 WIB aku seolah berada di angkasa. Berada ditengah-tengah kilauan cahaya bintang yang memancar keseluruh tubuhku. Panorama indah ini kami temukan di atas bukit dengan lampu-lampu kota yang berserakan, berkedip seolah seperti bintang yang begitu dekat denganku, dan berharap aku mampu memetiknya dan membawa pulang untuk menemani tidurku saat gelap datang. Tidak begitu lama karena waktu yang semakin larut, aku pun kembali unuk menyusuri jalan dan kembali pulang dengan aktivitas rutin.


Belajar dari alam yang indah, seperti belajar dengan ditemani coklat yang manis dan takkan pernah bosan. Menjadikan semua sebagai pelajaran yang patut untuk dibenahi, disyukuri dan dijaga. Semoga akan aku temui kekayaan alam lainnya dengan kesempatan untuk memandang keindahan-keindahan-Mu yang lain.

0 comments:

Posting Komentar

Recent Posts

Text